Selagi Hari Terang (When The Light Lasts, 1997)


Bagaimana para penulis besar memulai karya pertamanya?
While The Light Lasts merupakan novel kumpulan sembilan cerita pendek karya Agatha Chistie. Yang memuat salah satu karya pertamanya sebelum menjadi termahsyur.
'Cahaya pagi kelabu masuk mengendap memasuki kamar. Suasana pagi itu sunyi luar biasa. Pukul 4.30 pagi, London yang letih masih diselimuti suasana damai yang singkat. '
Demikian salah satu bait pembuka dalam 'The House of Dreams', cerpen pertama dalam buku ini. Aslinya terbit Januari 1926. Bercerita tentang John Segrave, keturunan terakhir keluarga terpandang yang mengalami kebangkrutan finansial.
Seting cerita berlatar sebelum perang dunia pertama meletus. Ditempatnya bekerja, John ditaksir anak bos, Maissie Watterman. Itu cinta pandangan pertamanya si Maissie. Namun bagi John, cintanya hanya untuk Allegra seorang. Allegra gadis yang atraktif, keras kepala, dan aneh - berikrar tidak mau menikah seumur hidupnya. Cinta segitiga mewarnai kisah ini.
Perjalanan hidup membawa John mengembara ke Afrika, Maissie masih setia menantinya. Kian hari John makin halusinatif, kerap bermimpi bertemu Allegra di sebuah rumah yang cantik namun menyeramkan. Mimpi berujung muram, Allegra mati karena gila, dan John berakhir di rumah sakit gila.

Rumah Di Tepi Kanal (By The Pricking Of My Thumbs, 1968)

Dramatis. Buku ini terbit pada tahun 1968. Artinya buku ini ditulis oleh seorang Agatha yang telah menemukan kematangannya dalam menulis. Runtut, tidak tergesa gesa, namun dramatis di akhir cerita. Bukan yang terbaik yang pernah ditulis Agatha Chistie. Tapi kabut yang dibikin di buku ini begitu tebalnya, sehingga agak sukar mengira-ngira ke mana akhir cerita ini. 

De Ja Vu, semacam perasaan masa lalu yang tumbuh dalam jiwa masa kini. Biasanya dipicu oleh sebuah kejadian atau benda. Itu juga yang dialami Mrs. Beresford alias Tuppence saat memandangi sebuah lukisan di Sunny Ridge, Rumah Jompo tempat bibinya tinggal. Perasaan De Ja Vu yang terlalu membekas menyebabkan Tuppence bertekad menemukan rumah di tepi kanal, rumah yang ada dalam lukisan tersebut.

Ups, sebenarnya ada hal lain yang menjadikan lukisan itu menarik. Pemilik lukisan, Mrs. Lancaster, orang tua jompo yang juga tinggal di Sunny Ridge tiba-tiba ada yang menjemput secara misterius. Alamatnya pindahnya tidak pernah ditemukan. Pada saat hampir bersamaan, jompo lainnya ditemukan tewas over dosis morfin. Sudah cukup alasan bagi Tuppence untuk beraksi, sementara sang suami lebih memilih mengikuti pertemuan komunitas intellijen di London.

Singkat cerita Tuppence berhasil menemukan rumah yang dijadikan obyek lukisan. Namun penelusuran hal ihwal rumah tersebut membuat tak senang seseorang. wanita paruh baya tersebut dipukul kepalanya hingga pingsan.

Mr. Baresford yang baru pulang dari London panik mendapati istrinya tidak pulang ke rumah tanpa kabar. Namun sebuah berita di surat kabar membawanya ke rumah Sakit Market Basing tempat Tuppence dirawat. Untung tidak terlalu fatal. Penyelidikan dilanjutkan.

Rupaya Desa Sutton Chancellor dimana rumah dalam lukisan itu berada menyimpan banyak kisah. Tentang sebuah keluarga Aristokrat kaya raya yang salah satu anggotanya mengikuti sekte agama tertentu. Tentang mafia perampokan batu permata yang memanfaatkan damainya kehidupan desa sebagai tempat menyimpan barang curian. Tentang seorang wanita sakit jiwa yang membunuhi anak anak. Tentang kesetiaan seorang sekretaris menutupi semuanya.

Dengan upaya kerasnya, Tuppence mengira kasus telah terbongkar dan selesai. Tapi Tuppence salah mengira. Bahaya belum beranjak jauh darinya. Seorang maniak berhasil menyekapnya dalam kamar rahasia. Membujuknya untuk meminum racun, atau mati dengan sebilah belati...

Siapa maniak itu?...

Misteri Listerdale (The Listerdale Mystery, 1936)

....Pembunuh jarang merasa puas dengan satu kejahatan. Berikan waktu dan tidak adanya kecurigaan, maka dia akan melakukan kejahatan lagi.... (hal.155).

The Lysterdale Mystery merupakan kumpulan 12 cerita pendek. Kebanyakan bertemakan roman pecintaan. Selebihnya tentang pencurian permata, orang orang galau, supranatural, dan tiga cerita pembunuhan.

Cerpen pertama berjudul misteri listerdale - yang dijadikan judul novel. Cerita tentang janda bernama ST Vincent, seorang aristokrat yang jatuh miskin. Terpaksa tinggal di lingkungan yang kurang pantas. Barbara, anak gadisnya yang tumbuh remaja, menjalin percintaan dengan lelaki dari kalangan terhormat. Masalah mulai timbul ketika sang pacar meminta bertemu dengan calon mertua. Khawatir sang anak dipermalukan, sang Ibu memutar otak untuk menyewa sebuah rumah yang 'cukup pantas' untuk dipamerkan. 

Dapet juga tuh rumah. 7 Cheviost Place, bergaya era Queen Anne. Dengan harga sewa teramat murah, lengkap dengan pelayannya. Rumah yang benar benar sempurna. Namun, Rupert - si bungsu, mulai curiga ada apa-apanya di balik rumah ini. Apalagi tersiar kabar empunya rumah hilang secara misterius..

Rupert, yang bemain jadi detektif berhasil membongkar kepalsuan seputar Lord Listerdale sang pemilik rumah. 

Cerpen kedua, Philome Cottage, sepertinya cerpen Supranatural. Gadis Di Kereta Api, cerpen ketiga bercerita tentang pemuda George Rowland yang frustasi dan bepergian dengan kereta api. Ngak dinyana, terlibat dalam arus politik dan pecintaan dengan seorang count dari Eropa Timur. Akhir cerita, George kawin dengan gadis berdarah biru itu. Haa..

Lanjut. Cerpen keempat. Ini menurut saya cerpen terbaik. Khas Agatha Christie: kasus pembunuhan. Judulnya Nyanyikan Lagu Enam Pence. Pembunuhan atas Miss Crabtree. Kasusnya tak terpecahkan. Padahal ada lima orang yang pada saat pembunuhan terjadi berada di rumah itu. Namun masing masing punya alibi. Jadi ingat pembunuhan atas Roger Ackroyd.

Cerita kelima masih tentang pemuda galau yang sempat punya affair dengan seorang Lady yang hendak menikah. Cerita keenam adalah pembunuhan dengan peracunan. Cerita ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesebelas adalah tentang pencurian permata dan penipuan. Cerita kesepuluh lagi-lagi pemuda galau yang beruntung mendapatkan cinta wanita kaya yang sudah hendak dijodohkan dengan seorang Duke. Cerita penutup berkisah tentang drama akbar yang dibintangi aktor seriosa paling cemerlang saat itu. Namun di tengah pertunjukkan terjadilah pembunuhan...

Behind The Story

Ada tiga novel terakhir Agatha Christie yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yang belum saya baca: Misteri Listerdale, Rumah di Tepi Kanal, dan Selagi Hari Terang. Sungguh tak disangka saya mendapatkannya dua di antaranya di Jalan Malioboro, Jogjakarta. Awalnya malah ngak niat beli buku. Nama tokonya: Intisari Ilmu. Cuman, dagangannya di display depan batik melulu, kemudian disusul kerajinan di barisan tengah.

Rak buku tersembunyi di kelokan kiri, tidak akan terihat dari trotoar Malioboro yang sesak dengan pedagang kaki lima. Penjaganya seorang lelaki tua dengan banyak uban di kepalanya. Entah kenapa koleksi buku Agatha Chistie di sana relatif lengkap, dibanding dengan kalau saya berbelanja di Gramedia Bandung. Jangan tanya dimana mendapatkannya di kota tempat saya tinggal: Sukabumi.

Malioboro
Luas kota Jogjakarta mungkin tak jauh beda dengan Sukabumi. Namun di sana, jumlah toko bukunya lebih banyak. Dalam pengertian, buku buku mendapat tempat tersendiri dalam budget warganya (ha ha ha).

Selain Malioboro, saya sempat mengunjungi Taman Pintar. Taman pintar itu semacam wahana rekreasi bagi anak, tetapi hiburan yang disediakan kebanyakan bernuansa budaya, sejarah dan sain. Mungkin maksudnya, sambil bermain, si anak juga sekaligus diasah kemampuan berfikirnya yaa. Ada dua wahana yang ngak boleh dilewatkan, yaitu theater 4 dimensi dan planetarium. Dua-duanya keren banget. dan... lagi, di sana bejejer los-los buku. Saya sempat beli buku Di Bawah Bendera Revolusi.

Itu buku terbitan 2015. Dulu agak sukar menemukan buku ini, apalagi jilid keduanya. Pernah ada yang menawarkan buku ini di harga ratusan juta. ck,ck,ck. Jadinya selain berbelanja batik, T-shirt, bakpia, dan makan gudeg, kesempatan ke berkunjung Jogja adalah juga peluang untuk berbelanja buku. Di Taman Pintar, saya dapat diskon yang lumayan, suasananya model di Palasari Bandung.













Eh, kembali ke Agatha Christie. Cerpen keempat kembali mengingatkan kita akan kebiasaan sang Nenek menyitir nyanyian tradisional sebagai plot cerita.

Nyanyian lagu enam pence
Sekantong gandum hitam
Dua puluh empat burung hitam
dipanggang dengan kue pai...

A Pocket Full Of Rye? ya, itu judul novel Agatha yang lain. Di sini diterjemahkan dengan: Misteri Burung Hitam, dengan tokoh utama Jane Marple.

Satu, Dua, Pasang Gesper Sepatunya (One, Two, Buckle My Shoe, 1940)

Hercule Poirot detektif paling jenius, anda benar. Hercule Poirot terkenal, anda benar lagi. Yang tidak banyak diketahui adalah dia bukan sekedar detektif beken,

"... siapa orang kepercayaan Menteri Dalam Negeri? Anda. Siapa yang menyimpan separuh anggota Kabinet dalam sakunya? Anda juga. Anda yang telah menyelamatkan muka mereka. " (hal.236)

Begitulah, Poirot sejatinya adalah orang yang punya pengaruh luas di Inggris. Publik mengenalnya sebagai pribadi yang brilian, berpenampilan rapi, gemuk, botak, dan berkumis. Ngomong ngomong soal kumis, orang sepakat kumis itu semacam penegasan akan maskulinitas laki laki. Tapi yang maskulin pun bukannya tak punya rasa takut. Poirot takut akan satu hal,

... Ia termasuk orang yang biasa menganggap dirinya sendiri hebat. Ia adalah Hercule Poirot, yang selalu lebih unggul hampir dalam segala hal dibandingkan orang lain. Tapi dalam situasi begini ia merasa tak bisa lebih unggul. Tingkat keberaniannya merosot turun sampai nol. Ia merasa seperti orang biasa lainnya, yang membutuhkan belas kasihan, yang takut ketika duduk di kursi dokter gigi... (hal. 17).

Dan pagi itu Poirot menemui dokter giginya, drg. Henry Morley yang praktik di Queen Charlotte Street 58. Sebenarnya bukan kerena ada geliginya yang sakit, lebih karena disiplin perawatan gigi saja. Begitu terbebas dari ruang dokter Morley, Poirot lega. Sekurangnya 2 tahun ke muka dia tak perlu lagi bertemu sang dokter. Namun 'kelegaan' Poirot sirna ketika Inspektur Kepala Japp dari Scotland Yard menelepon sore harinya. drg. Morley telah mati bunuh diri...


Apa sebab drg. Morley bunuh diri? Terjawab ketika salah satu pasiennya yang orang Yunani, Mr. didapati Amberiotis tewas karena overdosis adrenalin dan prokain. Zat anestesi lokal yang biasa disuntikkan ke gusi pasien. Rupanya rasa bersalah, bayangan runtuhnya reputasi, dan kemungkinan tuduhan malpraktik menyebabkan sang doter bunuh diri. Hampir saja Poirot pun menyimpulkan demikian, kalau saja tidak ada kejadian raibnya pasien lainnya, Miss Sainsburry Seale. Rupanya ruang praktik gigi telah menjadi panggung pembunuhan yang telah direncanakan, dengan sangat teliti.

Anehnya Kementerian Luar Negeri memerintahkan untuk mempeti-eskan kasus ini. Japp yang sering jadi olok-olokan Poirot mati kutu. (Ah, kalau orang Scotland Yard tidak tolol, mana mungkin ada Poirot) tapi Agatha sungguh keterlaluan menggambarkan seorang Inspektur Kepala Polisi demikian naif dan tidak berwawasan. Sampai lah perjalanan kasus ini membawa Poirot ke Rumah Gotik Exsham, itu kediaman Bankir no.1 Inggris, Alistair Blunt. Oh, ternyata ini beneran kasus politik, atau...

(Spoiler alert!) Kuncinya adalah para pasien dan masa lalu. Seorang bankir paling berpengaruh di Inggris (Alistair Blunt) telah bermain main dengan kehidupan rumah tangganya. Dia melakukan praktik poligami.... sesuatu yang dianggap aib oleh masyarakat Inggris. Seseorang mengenalinya (Miss Sainsburry Seale), dan seorang lainnya (Mr. Amberiotis) menggunakan informasi ini untuk memeras - hey, mengapa orang Yunani selalu digambarkan sebagai orang brengsek?. Kalau anda memeras orang berkuasa, kemungkinan mendapat duit segudang, atau nyawa melayang. Orang menyebutnya sebagai pembunuhan politik- itu kata Mr. Barnes, pasien gigi lainnya. Pembunuhan politik itu licin, dan acap tak pernah terungkap. Sebagian karena alat negara menutup kasusnya, atau karena metode pembunuhan yang canggih dan metodik. Rupanya yang terakhir ini yang terjadi. So, di mana orang bisa dibunuh tanpa perlawanan yang berarti dan nyaris tanpa ketahuan? Salah satunya di ruang praktik dokter gigi... sayangnya hari itu, Poirot juga memeriksakan giginya.

Behind The Story

Di novel ini Agatha coba menjaga keseimbangan antara pembunuhan biasa dengan pembunuhan yang melibatkan konspirasi dan mata-mata. Mungkin situasi sekitar 1940an itu cukup mewarnai penulisan novel ini. Dalam keadaan perang, orang cenderung saling curiga. Kejadian yang melibatkan orang orang berpengaruh selalu dikait-kaitkan dengan perang mata-mata. Tuduhan tangan-tangan asing yang ikut bermain sering dilemparkan ke publik. Padahal bisa jadi itu hanya masalah pribadi orang per orang. Hanya karena melibatkan orang berpengaruh, kasus kriminal murni bisa disamarkan seolah-olah soal politik.

Sebenarnya yang membuat saya kagum, adalah kelebihan Agatha untuk menciptakan tokoh tokoh. Ada sekitar 80 novel yang dibuat Agatha. Taruhlah tiap novel melibatkan lima tokoh di luar tokoh utama semisal Poirot dan Jane Marple. Maka akan ada sekitar 80 X 5 = 400 tokoh. Saya hampir membaca seluruh karya karya itu. Nyaris tidak ditemukan kesamaan karakter antara keempat ratus karakter itu.

Rupanya Agatha pandai menghayati tokoh tokoh ciptaannya itu. Dia bisa menciptakan karakter wanita atau laki laki, tua dan muda, militer atau sipil, pembantu atau tuan, dokter atau perawat, terpelajar atau kampungan, tegas atau pura pura, bangsawan atau kebanyakan, pemberontak atau penyabar, pendeta atau jemaat, tanpa pernah tertukar. Itulah sebabnya cerita yang cenderung lambat dapat diimbangi dengan kedalaman pemahaman akan tokoh tokohnya. Agatha bisa sangat detail kalau menyangkut tokoh tokohnya.

Contoh bagus untuk detailitas (istilah baru, ha?) ya di novel ini. Terutama gambaran Miss Sainsburry Seale. Bukan hanya cara berpakaian perempuan paruh baya ini. Tetapi selera, ukuran, asesoris, dan bahan fesyen yang dia pakai sangat teliti diurai. Stoking, gesper sepatu, sampai topi yang dikenakan. Bibir, lipstik, hingga betis yang terjulur ketika turun dari kendaraan. Mungkin ini juga yang menjadikan novel-novel sang nenek begitu punya banyak penggemar fanatik. Eh, kalau menyangkut wanita, siapa pujaan hati Hercule Poirot?

Ia, Hercule Poirot teringat pada wanita... seorang wanita, khususnya - sungguh ciptaan yang mewah - burung Cendrawasih - burung surgawi-venus... Wanita mana di antara gadis gadis cantik masa kini, yang pantas membawa lilin bagi Countess Vera Rossakoff? Seorang bangsawan Rusia yang murni, bangsawan sampai ke ujung ujung jemarinya? Dan juga, ia ingat, adalah pencuri paling ulung, salah satu wanita paling jenius... (hal.217).

Adegan langka: Poirot dan  Countess Vera Rossakoff

Pembunuhan Di Wisma Pendeta (Murder at The Vicarage, 1930)


Di Inggris tak ada seorang detektif pun yang bisa menandingi seorang perawan tua yang nganggur dan iseng (hal.49).

Kalau anda kebetulan berprofesi sebagai rohaniawan semodel kiai, ustad, rabi atau pendeta, jangan sembarangan omong. Itu pendeta Len Clement berseloroh kalau siapapun yang membunuh jemaat bernama Kolonel Protheroe, berarti telah berbuat kebajikan kepada seisi dunia. Tentu saja kutipan itu bukan dari injil. 

Esok harinya sang Kolonel betul betul terbunuh - dengan cara ditembak, di ruang kerja Wisma Pendeta pula!

St. Mary Mead dikenal sebagai desa relijius. Mungkin saking relijiusnya, orang menaruh perhatian "berlebih' kepada gereja dan pendetanya. Ketika seorang jemaat mendapati sedekahnya tidak sesuai catatan buku gereja, segera saja dengan cepat menjadi isu yang bergulir tak sedap. Di tangan provokator seperti Kolonel Protheroe, masalahnya menjadi semakin panas. Ada penggelapan sedekah gereja! Pendeta Clement sampai harus mengundang jemaah yang rata-rata sudah uzur itu untuk mengklarifikasi masalah. Pertemuan yang tadinya dimaksudkan sebagai media klarifikasi, malah berkembang menjadi ajang bergunjing apalagi kalau bukan gosip-gosip 'terkini' di desa mereka. Ada Mr. Stone, arkeolog yang sekretarisnya selalu pake rok mini, dr. Haydock yang ngapelin janda mencrang, hingga Kolonel Protheroe yang mengusir artis pelukis Lawrence Redding. Itu gara-gara melukis putrinya yang hanya berbalut handuk mandi. Ah, ngawur ke mana-mana. Tapi hanya Miss Marple seorang yang mengendus dan mengkhawatirkan cinta segi tiga maut.



Kekhawatiran yang beralasan. Sebab tak lama kemudian pendeta memergoki sang pelukis sedang bercinta dengan Mrs. Protheroe. Dan di sore yang maut itu, sang Kolonel mati tewas ditembak di ruang kerja Pendeta. Malamnya si pelukis menyerahkan diri ke polisi dan mengaku sebagai penembak mati sang Kolonel. Esok harinya giliran janda Kolonel, Mrs. Protheroe yang mengakui sebagai penembak. Polisi merasa dipermainkan. Tapi baik si pelukis, maupun sang janda dibebaskan karena kurang bukti. Lho, siapa yang nembak? Kontan saja spekulasi merebak. Intrik-intrik dan saling curiga mulai mewarnai kehidupan desa yang damai itu. Telepon-telepon gelap, saling mengintip, menelisik masa lalu seseorang. Hingga memuncak pada upaya bunuh diri asisten pendeta. Dia mengaku yang menggelapkan dana umat, kemudian menembak si Kolonel demi mencegah kasus ini terbuka...

Rumah Miss Marple tepat berada di samping Wisma Pendeta. Jadi dia tahu betul suasana sekitar wisma sore saat kejadian itu. Di balik tubuh rentanya, dia berhasil mereka ulang apa yang sebenarnya terjadi di desa kecil itu. Hhh, dan bikin polisi terbelalak. Tapi untuk menangkap pelaku sebenarnya, dibutuhkan jebakan. Jebakan untuk si pembunuh. Tapi yang mana? Rupanya banyak orang yang potensial menjadi pembunuh, dia menghitung ada tujuh orang, termasuk pendeta...

Behind The Story

Komentar saya? Pantas untuk dinominasi menjadi novel terbaik Jane Marple. Agatha berhasil memasukan konflik dan intrik intrik di novel ini. Intrik pertama muncul dari istri pendeta. Kebanyakan pendeta mungkin selibat (tidak menikah). Tapi Mr. Clement memutuskan untuk menikahi Griselda, usianya jauh dan juga jauh dari nilai-nilai kristen. Tapi sang pendeta begitu memujanya. Cantik sih, tapi tak bisa masak. Terbukti di masa lalu pernah punya affair dengan si pelukis. Istri pendeta harusnya soleh, tidak  fungky - seperti yang digunjingkan warga . Boleh juga Agatha.

Intrik dan konflik lainnya adalah kaum puritan VS anak anak muda. Yaa, pakaian ketat dan rok mini. Lalu pasangan suami-istri yang terpaut usia hingga 20 tahun. Perselingkuhan, dan juga perselingkuhan sedekah gereja. Tapi sebenarnya saya suka latar lingkungan yang dibangun oleh cerita ini. Masih ada rumah-rumah dengan taman, gereja, jalan jalan batu, dan hutan. Suasana sore diceritakan dengan agak menonjol. Tentunya efek senja dengan sinar mentari yang jatuh dalam interior gereja.

Jane Marple benar-benar hidup di novel ini. Bukan saja dia berhasil menancapkan kekuatan watak dan penalarannya, tapi berhasil membuat para inspektur polisi memerah wajahnya. Motif? mungkin tak terlalu kuat. Tetapi kelindan orang-orang yang terlibat sungguh membuat pembacanya pusing sendiri. Dan tentu agak susah menebak siapa pembunuh sebenarnya. Saya ragu kalau kasus ini benar-benar bisa terjadi di alam nyata. Terlalu muskil, atau anak sekarang menyebutnya: lebay.

Misteri Sittaford (The Sittaford Mystery, 1931)

Saat itu musim salju di Desa Sittaford, Exhampton. Salju mencapai dua hingga tiga meter. Namun tak menghalangi warga di sekitar Sittaford House untuk memenuhi undangan tuan rumah Mrs. Willett untuk bermain bridge. Sittaford adalah rumah besar yang dikelilingi enam bungalo. Rupanya yang datang para penghuni bungalo itu. Seorang pensiunan Mayor, anak muda yang naga-naganya naksir sama putri tuan rumah, seorang tua kecil yang tertarik pada burung dan perkara kriminal, dan seorang yang tidak senang menonjolkan diri di lingkungan itu. 

Karena kekurangan pemain, rencana main bridge tiba-tiba diubah menjadi permainan... hmm, kalau di Indonesia mungkin dikenal dengan permainan jelangkung. Cuman, tidak ada tubuh dari kayu dan kepala dari batok kelapa. Yang digunakan adalah meja. Roh halus diundang, dan kemudian meja bergoyang-goyang. Komunikasi arwah dilakukan dengan ketukan-ketukan di meja. Banyak yang ditanyakan, namun tiba tiba arwah mengatakan bahwa Kapten Joseph Trevelyan telah mati dibunuh...

Kapten Trevelyan adalah pemilik sesungguhnya Sittaford House. Dia menyewakannya pada Mrs. Willett, mungkin tergiur uang sewa yang besar. Dia sendiri kemudian menyewa rumah di Exhampton, sekitar 9 kilometer dari Sittaford. Informasi dari roh yang mengatakan sang Kapten mati terbunuh mendorong sahabat dekatnya, Mayor Burnaby untuk bergegas menjenguk temannya itu. Dan ternyata benar adanya, sahabatnya meninggal akibat pukulan karung pasir.

Segera saja Exhampton menjadi geger dan menjadi pusat perhatian. Para wartawan berdatangan. Inspektur Narracott ditugasi meyelidiki kasusnya. Kasus makin menarik karena ternyata orang-orang di lingkungan Sitttaford menyimpan rahasia masing masing. Seorang keponakan ditahan karena berada di TKP pada saat kejadian. Eh, ditambah ada kasus narapidana melarikan diri dari penjara. Nampaknya ada kemungkinan semua orang terlibat. Trevelyan dikenal sebagai orang kaya, warisannya cukup menjadikan seorang menjadi gelap mata.

Tak ada Hercule Poirot. Maka Inspektur Narracott jadinya sibuk kesana kemari. Ada juga Emily Trefusis dan Charles Enderby sang wartawan yang melakukan penyelidikkan. Emily lebih karena keponakan yang ditawan adalah tunangannya, sedangkan Charles... yah, karena dia kan wartawan. 

Karena penyelidikkan yang dilakukan menemui jalan buntu, maka Mr. Rycroft yang ahli burung dan kriminal itu menggalang orang-orang untuk kembali ke lokasi asal dan memainkan jelangkung. Mungkin maksudnya mengundang roh untuk menanyakan siapa pelaku pembunuhan Kapten Trevelyan. Namun sebelum roh datang, Inspektur Narracott dan Emily datang dengan perintah penangkapan...

Behind The Story

Horeeee!!! untuk pertama kalinya saya berhasil menebak pembunuhnya. Tetap konsisten menuduh si A karena beberapa alasan. Berdasar pengalaman membaca novel Agatha (sudah 74... ) pembunuhan yang terjadi biasanya amat sederhana dan pembunuhnya adalah orang yang paling dekat/mungkin membunuh. Biasanya orang yang tidak mendapat perlakuan istimewa dari Agatha, alias tidak mempunyai masa lalu yang kelam. 

Cuman, yaaa.. permainan meja bergoyang alias jelangkung itu yang ngak bikin ngerti. Dari mana meja bisa bergoyang, tidak jelas. Kalau salah seorang yang melakukannya, orang orang yang semeja pasti pada tahu. Dan yang tidak masuk akal, masak sih ada orang yang terprovokasi dan rela berjalan 9 kilometer hanya untuk membuktikan omongan arwah nyasar... hmmm, ngak masuk akal.

Jadinya saya hanya menempatkan novel ini karya standar saja. kelebihan novel ini barangkali suasana yang dihadirkan. Saya suka dengan kondisi alam bersalju, langit gelap, dengan angin yang menderu deru. Mengingatkan pada kisah kisah Famous Five alian Lima Sekawan karya Enid Blyton, bacaan masa SD dulu.

... kita sendiri, yang yang tinggal di negeri ini, mendambakan matahari, iklim panas, dan pohon pohon nyiur yang melambai. Sedangkan orang orang yang tinggal di Australia atau Afrika selatan terpikat oleh keinginan untuk merayakan natal dengan cara kuno, dengan salju dan es... (hal.182) 

Maut di Udara (Death in the Clouds, 1935)

Hercule Poirot, full action! Tidak semua novel Agatha Christie dengan tokoh utama Poirot bercerita tentang sepak terjang detektif berkumis besar ini secara penuh. Novel kali ini benar benar nikmat, anda dapat menikmati sepak terjang sang detektif dari lembar pertama sampai lembar terakhir. Benar benar novel detektif tulen!

" Saya tahu, saya tahu " tiba tiba Jean Dupont menjadi muram " Sungguh tragedi kehidupan, bahwa wanita menjadi tua " (hal. 200)


Jane Grey, seorang penata rambut di London, baru saja mendapat keberuntungan dengan memenangkan lotere sebesar 100 poundsterling. Dia masih muda, dan tak ingin beranjak tua tanpa pernah menjejakkan kaki di Paris. Dia pun mewujudkan impiannya untuk pergi ke Paris, dan berjudi hingga nyaris bangkrut. Untunglah seorang 'pangeran' menyelamatkan taruhan terakhirnya. Dia pulang dari Paris dengan pesawat Prometheus, duduk bersebelahan dengan Hercule Poirot....

Siapapun yang dekat dekat dengan Poirot akan mendapat tuah, tuah terlibat dalam kasus pembunuhan. Dan pembunuhan itu memang terjadi. Korbannya adalah Madame Giselle, kali ini wanita tua - berkebangsaan Perancis. Wanita tua dengan wajah tidak menarik. Dengan masa lalu yang tak banyak diketahui pula. Namun dia public figure dan dikenal luas di kalangan pergaulan kelas atas - sebagai rentenir. Tidak hanya di negerinya sendiri, jaringan Madame Giselle juga meliputi Eropa lainnya. Sang Madame menjadi kaya raya dari bisnis pinjam meminjam duit ini. Orang akan mengenangnya sebagai wanita yang berwatak kuat, jujur, dan keji... Apakah profesinya yang tak lazim itu yang membuatnya terbunuh?

Ada banyak model pembunuhan dalam novel novel Agatha Christie. Tapi membunuh dengan sumpitan, dengan amunisi anak panah beracun sebesar lebah? ini benar benar unik. Lagian, peristiwanya terjadi di pesawat terbang berpenumpang 12 orang, ketika pesawat melayang di atas selat Inggris. Manakala akhirnya landing di bandara Croydon, keruan saja semua penumpang jadi tersangka...

Pemeriksaan kasus ini segera dilakukan kepolisian Inggris secara terbuka. Kehebohan terjadi, karena dewan juri mencurigai Hercule Poirot sebagai pelaku pembunuhan! Mungkin karena tampangnya yang asing (atau nyeleneh?), terlebih lagi, sumpitan pembunuh ditemukan pada kursi yang diduduki Poirot!


Tamparan bagi Poirot! Namun hampir tiga minggu kasus ini bergulir tanpa ujung pangkal yang jelas. Si kumis harus bolak balik London Paris untuk melacak orang orang yang terlibat. Perkembangan para mantan penumpang tak kalah seru. Ada Jane Grey yang jatuh cinta berat pada Norman Gale sang dokter gigi. Seorang Countess yang terlilit utang dan dibawah ancaman perceraian sang suami. Seorang pengarang cerita detektif yang sok tahu, seorang dokter yang mempunyai affair dengan pasiennya, seorang pengusaha yang mendapat rejeki nomplok, dan ayah anak yang akan memulai penggalian situs arkeologi yang baru. Semuanya membentuk mozaik, menyusun pola pembunuhan. Yang menurut saya ruwet tingkat tinggi, minta ampun!

Behind the Story

Konon, pada tahun 1935 ketika buku ini dirilis, penerbangan reguler  Inggris - Perancis baru saja dimulai. Uniknya, pesawat yang digunakan adalah bekas pesawat pembom pada perang dunia I yang telah dimodifikasi. Dan nama Prometheus? aha!

Dalam mitologi yunani, dia adalah seorang Titan, seorang hero yang telah mencuri api para dewa untuk diserahkan kepada umat manusia. Api yang melambangkan ilmu pengetahuan dan penerang peradaban. Akibatnya dia dihukum oleh bapak para dewa, Zeus dengan cara diikat pada batu. Setiap hari seekor burung elang memberinya makan, hingga kemudian Herkules (Hercules, Hercule Poirot) membebaskannya. Hmm, nyambung, ya?


Prometheus yang diikat.
Sisi lain, di buku ini, Agatha banyak bercerita tentang situasi rumah tangga. Perbincangan mengenai kebiasaan para pria dari berbagai negara selalu menarik. Pria Inggris, misalnya, selalu menomorsatukan pekerjaan, kemudian olahraga, baru kemudian para istrinya. Hee, dan profesi apa menurutnya yang merupakan profesi idaman suami idaman? ini jawaban Agatha:

An archaeologist is the best husband a woman can have. The older she gets the more interested he is in her.


Ya terang aja. Kamu kan kawin sama Max Mallowan, seorang arkeolog.

Tragedi Tiga Babak (Three Act Tragedy, 1934)

" Kejadian mendatangi manusia, bukan sebaliknya.... Begitu juga dengan orang orang seperti Hercule Poirot. Mereka tak perlu pergi mencari tindak kriminal. Kejahatan itu sendiri yang datang pada mereka." (hal.16).

Sulit untuk tidak mengatakan kalau novel novel Agatha Christie novel borjuis. Jarang kita menemukan Agatha bercerita tentang kemiskinan, atau pembunuhan berlatar orang orang miskin. Begitu pula novel ini. Tersebut lah Sir Charles Cartwright, artis drama ternama Inggris yang memasuki masa pensiun. Masih lajang, memilih Crow's Nest, sebagai rumah peristirahatan tepi pantai bergaya modern. Dari sana pemandangan pantai Loomouth sangat indah. Lengkap dengan para pelayan khas rumah tangga aristokrat Inggris.

Soal kebiasaan? ya apalagi kalau acara minum-minum dan jamuan makan malam eksotik. Kebiasaan mewah yang hanya bisa dinikmati lingkungan para sohib bangsawan. Malam itu acara dinner dihadiri Mr. Satterhwhaite, sahabatnya, dr. Sir Bartholomew Strange, Egg Lytton Gore, gadis enerjik (disukai Sir Charles) yang datang bersama ibunya, Oliver Manders, yang ngebet sama si Egg, Mr. dan Mrs. Babbington yang pendeta (diundang lebih karena tetanggaan), Angela Sutcliffe, artis tekenal, Anthony Astor, penulis naskah yang lagi naik daun, suami-istri Dacres, desainer fashion kaya raya, dan terakhir.... si kumis Hercule Poirot yang lagi-lagi mengutarakan niatnya untuk pensiun.

" Setiap hari saya liburan sekarang. Saya sudah sukses. Saya kaya. Saya pensiun. Sekarang saya jalan jalan, melihat dunia " (hal. 66). 

Namun acara makan malam menuai bencana. Mr. Babbington yang pendeta jatuh tersungkur setelah minum koktail. Mati. Racun nikotin terdeteksi dalam tubuhnya. Itu babak pertama dari tragedi tiga babak. Dibunuh. Padahal apa artinya seorang pendeta? Dia pelayan umat, lemah lembut, dan jelas tak punya musuh. Masa lalunya bersih.

Babak kedua tragedi terjadi di London, ketika lagi-lagi dalam jamuan makan malam terjadi pembunuhan. Kali ini korban justru tuan rumah, dr. (spesialis syaraf) Strange. Hampir seluruh peserta jamuan di rumah Sir. Charles juga menjadi tamu pada jamuan di rumah dr. Strange. Kembali racun nikotin kembali menjadi sang pencabut nyawa. Mudah ditebak, salah seorang peserta pastilah menjadi pembunuhnya. Namun ikutan yang menyertainya agak aneh-aneh: ada kepala pelayan yang tiba-tiba lenyap ditelan bumi, ada Oliver yang datang hanya karena kecelakaan motor, sementara Mr. Satterhwaite, Sir Charles, dan Poirot nun jauh di Monte Carlo sana. Namun siapa, dan kenapa membunuh? itu soalnya.

Eh, jatuh lagi korban. Kali ini salah seorang pasien sanotarium penyakit syaraf yang dimiliki almarhun dr. Strange. Ini pasien yang terisolasi, yang jarang berhubungan dengan dunia luar. Lagi-lagi mati karena racun nikotin, kali ini lewat hadiah kue coklat yang dia terima. Pembunuhan pertama, kedua, dan ketiga bisa dibilang tak berhubungan. Seorang pendeta, seorang dokter, seorang pasien. Bagaimana menjelaskan semua ini?

Behind The Story

Nyaris setengah buku ini bercerita tanpa kehadiran Hercule Poirot. Narator adalah Mr. Satterthwaite. Bisa dibilang ini buku Hercule Poirot tanpa Hercule Poirot. Poirot hadir penuh saat pidato mematikan - seperti biasa - di akhir cerita. Itu babak ketiga.

Nanti dulu, Mr. Satterhwhaite? samar samar mungkin anda mengingat tokoh ini. Ya! dia juga salah satu tokoh sentral dalam novel  Mr. Quin Yang Misterius (The Mysterious Mr. Quin, 1930).

Walau jumlah halaman yang sekitar 300an merupakan tebal standar novel novel Agatha, saya menangkap Agatha agak kurang tenang atau tergesa-gesa waktu menulis novel ini. Ada kesan cerita melompat lompat - biasanya Agatha lebih sabar menangani adegan demi adegan. Tetapi kerumitan yang terjadi, saya jamin orsinil. Artinya, saya tidak melihat kemiripan dengan plot cerita dengan novel yang lainnya.

Muslihat Dengan Cermin (They Do It With Mirror, 1952)

They Do It With Mirror ( Muslihat dengan Cermin). Panggung, isu dan pembunuhan. Ada yang tak beres dengan teman kita, kata Ruth Van Rydock. Carrie Louise, teman se-SMA kita mungkin hidupnya dalam bahaya. Percakapan dalam reuni kecil itu membawa Jane Marple mengunjungi Panti Rehabilitasi Remaja Stonygates. Panti?, mungkin lebih mendekati Rumah Sakit Jiwa alih-alih panti. Semacam proyek kemanusiaan untuk menangani para remaja 'bermasalah'. Sebuah proyek pilantropic yang digawangi Lewis Serrocold, suami Carrie sendiri.

Rumah sakit itu sekaligus menjadi rumah besar bagi dinasti Carrie Louise. Carrie yang telah menikah tiga kali, tinggal bersama suami, anak, anak tiri, mantu, dan cucu. Belum para psikiater dan para pembantu. Mungkin pribadi Carrie yang lembut dan penyayang menjadi magnet yang menjadikan mereka betah tinggal dalam komplek yang sebenarnya diisi orang-orang dengan gangguan mental.

Malapetaka terjadi ketika Christian Gulbrandsen, anak tiri dari suami pertama datang secara tiba tiba. Panggung sepertinya baru saja digelar. Di malam berkabut, saat keluarga berkumpul di ruang makan, tiba-tiba salah seorang staf rumah sakit, Edgar Lawson membuat keributan. Lewis mencoba menenangkannya di ruang kerjanya. Keributan terus berlanjut, sampai letusan pistol terdengar. Anehnya dua tembakan Lewis dari jarak dekat meleset. Kehebohan ternyata terus berlanjut, Miss Bellever - asisten Carrie - menemukan Christian tewas tertembak, setiap orang di rumah itu kontan menjadi tersangka....

Polisi yang datang kemudian mulai menanyai para saksi. Eh, malah berhembus isu kemungkinan peracunan terhadap Carrie. Isu yang kemudian menjadi nyata karena ditemukan arsenik dalam tonikum yang biasa diminumnya. Beberapa gejala keracunan arsenik juga terlihat,

.... istri saya menderita rematik, kaki kejang, linu linu, dan kadang kadang sakit. Semua itu sangat cocok dengan gejala gejala keracunan arsenik (hal.134).

Arah kasus semakin membingungkan manakala Alex - anak tiri Carrie - dan seorang pembantu tewas tertimpa layar di ruang teater. Rupanya mereka mulai mengendus akal muslihat si pembunuh Christian. Sebuah trik yang biasa digunakan pala ilusionis, pikir Jane Marple. Itu seperti muslihat dengan cermin...

Behind The Story

Anda pasti berpikir ini mestilah novel mengenai Rumah Sakit Jiwa. Tidak persis seperti itu. Inilah bahayanya kesalahan membuat dan menyandarkan gambaran besar sebuah cerita pada sinopsis yang 'keliru',

Untuk memenuhi janji kepada seorang teman sekolah lama, Miss Marple bersedia tinggal di sebuah rumah di daerah pedesaan - bersama dengan dua ratus remaja yang mengalami gangguan jiwa dan tujuh orang ahli waris harta seorang nyonya tua. Salah seorang dari mereka adalah pembunuh.... (sinopsis dari cover belakang buku)

Nah, see... pikiran anda pasti berkelana membayangkan Miss Marple menyusuri lorong lorong RS dimana para pasien berteriak teriak gila... dan salah seorangnya adalah pembunuh berbahaya.

seperti yang saya tulis di atas, Stonygates memang panti rehabilitasi remaja bermasalah, tetapi juga rumah besar bagi dinasti Carrie Louise. Panggung Agatha kali ini bukan pada kehidupan para pasien, tetapi pada kehidupan rumah tangga Carrie. Jadi embel embel Rumah Sakit Jiwa hanya sedikit mendapat porsi cerita. Namun saya suka dengan satir percakapan ini,

"... sebentar, Dr.Maverick. Menurut anda, apakah pemuda ini betul betul kasus kejiwaan?"
Dr.Maverick kembali tersenyum angkuh.
" Kita semua adalah kasus kejiwaan, Inspektur Curry"
(hal.169)

Ha ha ha. kita ini memang pada dasarnya adalah kasus kejiwaan, saya suka itu, I like this!

Barangkali anda yang telah terbiasa dengan novel Agatha sudah mulai hafal dengan puzzle ala Agatha, sehingga kurang melayani jebakan Agatha dengan kisruh rumah tangga Gina - Wally. Tetapi memang sulit menghindari isu peracunan arsenik terhadap Carrie. Atau mulai waspada dengan keanehan Edgar Lawson. Padahal adegan pertengkaran Lewis - Edgar adalah yang paling konyol, dan paling dibuat buat. Sehingga bila anda tidak dipusingkan dengan adegan-adegan lainnya, ini saja sudah cukup untuk menebak pelaku pembunuhan. Masa menembak dari jarak kurang dari semeter meleset? (Saya tidak 'spoil', kan?).

Bagaimana komparasi novel ini dibanding kasus Marple lainnya? Hmm, saya pikir ini bukan kasus terbaik Miss Marple. Novel ini adem ayem saja. Di luar kerumitan silsilah keluarga, teknik pembunuhannya tergolong sederhana dan biasa.

N atau M? (N or M?, 1941)


N or M? Kisah nabi Sulaiman terdapat dalam tiga agama besar, Yahudi, Kristiani, dan Islam. Ada Kisah ketika sang raja dihadapkan pada pengaduan dua orang ibu yang sama-sama mengklaim seorang bayi sebagai anak mereka. Sulaiman menyelesaikan kasus ini dengan membedakan mana ibu sejati dan mana yang lancung. Rupanya kisah Sulaiman menjadi inspirasi Agatha Christie menulis novel ini, N or M?

1941, hari-hari itu di Inggris pembicaraan hanya melulu sekitar Jerman, Jerman, dan Jerman. Kata 'blitzkrieg' menjadi kata umum di Inggris, ekspresi antara kekaguman sekaligus kegelisahan. Saat gerak maju pasukan Jerman menyapu Perancis, orang Inggris berpikir serangan Jerman ke tanah air mereka tinggal menunggu waktu.

... si Hitler seharusnya digantung. Dia memang orang gila. Gila. (hal.24)

... Orang-orang muda sekarang ini menyebalkan. Mandi air hangat. Mulai sarapan jam sepuluh atau lebih. Tak heran kalau Jerman selalu menang. Tak punya stamina. Memanjakan mereka. Itulah yang dilakukan orang tua-tua sekarang. Menimang-nimang mereka dengan botol air panas di malam hari. Huh! Menyebalkan (hal.35)

...bikin ribut benar si Hitler itu. Apa saja yang tidak dikerjakannya? Membom, menembak, menginjak nginjak dunia, dan bikin kacau di mana mana. Mereka harus dihentikan.... (hal.239)

Perang bikin suram ekonomi. Tak terkecuali bagi pasangan Tommy dan Tuppence Beresford. Mereka kini  pasangan paruh baya yang menganggur. Sementara anak-anak mereka turut berperang di Eropa daratan. Namun kedatangan 'Mr. Grant' dari dinas rahasia Inggris mengubah peruntungan mereka. Dinas rahasia mengendus mata-mata Jerman yang menyusup dalam tubuh pemerintahan Inggris, khususnya di birokrasi, dinas rahasia, dan angkatan perang. Celakanya, mata-mata itu bukan orang Jerman, namun orang Inggris tulen simpatisan Jerman. Hmmm, bisa begitu, ya?

Mr. Grant mengatur agar Tommy - kemudian diikuti Tuppence menyelidiki keberadaan para mata-mata Jerman tersebut. Dia dikenal sebagai N dan M yang keberadaanya disinyalir berada di kawasan pantai Leahampton, tepatnya di sebuah penginapan Sans Souci, sebuah villa bergaya victoria. Penginapan di kelola Ny. Perenna dan anak gadisnya, Sheila. Mereka berdarah setengah Spanyol.

Dengan menyamar sebagai dua orang yang tak saling mengenal, mereka beradaptasi dengan penghuni penginapan lainnya. Ada Ny. O'Rourke yang orang Irlandia, Mayor Bletchley pensiunan tentara, Tn. Carl Von Deinim pengungsi Jerman, Nona minton sang perawan tua, Ny. Sprot dan anaknya yang balita Betty, serta suami istri Cayley. Salah seorang diantara mereka dipastikan sebagai N dan M, mata-mata Jerman itu. Namun, yang mana?

Behind The Story

Gaya Agatha kembali hidup di novel ini. Beliau mengumpulkan sekumpulan orang dengan latar belakang berbeda di satu tempat (dalam hal ini penginapan) dengan seorang atau beberapa orang merupakan tertuduh kriminal. Agak lain dengan kebiasaan lamanya, Agatha langsung tancap gas dengan ketegangan cerita di pertengahan novel. Itu ketika Betty diculik orang tak dikenal. Si penculik terpaksa ditembak mati oleh Ny. Sprot yang khawatir dengan keselamatan anaknya. Atau, demikiankah? di mata Tuppence, penembakan itu mengingatkannya pada kisah Sulaiman seperti pembukaan resensi ini di atas.

Agak mengecewakan ketika sampai di adegan ketika tanpa sengaja Tommy membuka kedok Kapten Haydock dengan cara terpeleset di kamar mandi. Kesannya jadi 'novel' banget. Selebihnya cerita mengalir lancar dan logis. 

Rupanya pemahaman Agatha terhadap dunia mata-mata boleh juga. Terlihat dari konsep tujuan proyek spionase Jerman yang 'sesungguhnya'. Menurut Agatha, target mata-mata dan propaganda Jerman terhadap Inggris bukan untuk menguasai Inggris seperti yang banyak dikira orang. Tujuan sebenarnya adalah memprovokasi orang Inggris sendiri untuk mengakhiri model kerajaan/ monarki dan menggantikannya dengan tata pemerintahan baru - yang menjanjikan keagungan dan kejayaan lebih.

... Orang orang ini bersedia mengkhianati negaranya bukan untuk suatu kekayaan atau uang, tapi untuk suatu kegilaan pada kebanggaan yang akan mereka dapatkan... Di negara manapun ada orang orang seperti ini. Ini semacam aliran Lucifer..... Suatu kebanggaan dan keinginan untuk kemegahan diri (hal. 283)

Sebuah novel yang menawarkan 'teori konspirasi' ala Agatha. Saya sendiri lebih suka 'pembunuhan' dengan latar belakang keseharian orang Inggris. Teori konspirasi lebih asyik dinikmati dengan detail detail mendalam, dengan rujukan rujukan tertulis yang jelas (betapapun absurdnya). Seperti halnya novel 'Passanger to Frankfurt' yang mengangkat teori konspirasi kaburnya Hitler ke Argentina, novel ini lebih berpijak pada pergaulan yang luas seorang Agatha, di kalangan atas. Saya kira.

Dan Cermin pun Retak (The Mirror Crack'd From Side to Side, 1962)


Dalam dunia kami, dunia perfilman, perkawinan merupakan risiko profesi kami. Bintang-bintang film sering menikah. Kadang-kadang berbahagia, adakalanya merupakan malapetaka, tapi jarang yang kekal.. (hal.159).

Marina Gregg terkesiap, wajahnya membeku. Sementara para tamu terus berdatangan dalam acara amal yang diadakan di Gossington Hall. Tentu saja nama besar Marina yang menyebabkan pengunjung membludak. Namanya sering disandingkan dengan Greta Garbo, bintang Hollywood itu. Namun tragedi baru saja dimulai. Seorang pengunjung tiba-tiba tewas, hasil otopsi mengindisikan overdosis calmo, sejenis obat penenang yang diduga dilarutkan dalam gelas minuman korban. Mengapa, dan siapa yang tega dan berani berbuat itu di saat ruangan pesta penuh orang. Tak lama, sekretaris Marina tewas, disusul manajer dapur mati ditembak. Tragedi ditutup dengan kematian Marina sendiri. Pihak Scotland Yard saja tidak bisa menjelaskan rangkaian pembunuhan yang terjadi. Untung Miss Marple bisa...

Wajah membeku Marina menjelaskan banyak hal. Agak kurang masuk akal kalau disebabkan seorang pengunjung yang ngoceh tentang penyakit campak. Ini penuturan Mrs. Bantry ketika menggambarkan ekspresi wajah Marina itu,

Terbanglah sudah si penjerat
sambil mengambang meluas;
Cermin pun retak, dari sisi ke sisi:
"Nasib buruk telah menimpa diriku,"
seru the Lady of Shallot 
(hal.124)

Sepanjang pemahaman Jane, penyakit campak memang bisa berakibat fatal terutama bagi ibu yang sedang mengandung. Bayi yang kelak dilahirkannya berpotensi cacat. Namun yang tak terduga adalah cacat yang terjadi memicu dendam seorang ibu untuk membalas, dengan cara membunuh...

Ini cerita zig zag ala Agatha. Berlatar kehidupan para aktris-aktor pesohor:

Orang orang teater dan film itu pikirannya mudah berubah-ubah dan aneh-aneh. Kadang-kadang saya pikir makin jenius seseorang dalam bidang seni, makin kurang akal sehatnya dalam hidup sehari hari  (hal.171)

Ya, kurang akal yang melahirkan pembunuhan. Pembunuhan spontan tanpa perencanaan. Begitu sederhana, namun berhasil mengecoh semua orang. Eh, mungkin samar-samar anda mulai mengingat Gossington Hall?.... Hmm, itu bangunan bergaya Victoria di desa St. Mary Mead, tempat tinggal Jane Marple. Pernah juga menjadi lokasi cerita ' Mayat dalam Perpustakaan' - novel Marple terdahulu.

Behind The Story

Riset, riset, riset. Riset menghasilkan kedalaman. Kalau ditanya apakah salah satu resep sukses novel Agatha, salah satunya adalah pemahaman yang mendalam tentang sesuatu. Riset menjadikan setiap adegan mengalir natural, tidak palsu. Setiap orang benci kepalsuan. Agatha menawarkan realitas. Entah bagaimana Agatha melakukannya, tapi dia berhasil menghidupkan karakter Marina Gregg. Seorang selebritas yang sukses dengan stereotip kawin cerai dan penggunaan obat obatan.

Miss Jane Marple sedang duduk di jendelanya. Dari jendela itu tampak kebunnya, yang dulu merupakan kebanggaannya. Kini tidak lagi. Sekarang, bila dia melihat dari jendela itu, dia mengernyit dengan kesal. Sudah beberapa lama dia tak bekerja di kebun. Dia tak boleh lagi membungkuk, menggali, dan menanam - paling paling dia hanya boleh memangkas tanamannya sedikit.

Begitu cara Agatha Christie memulai novel ' Mirror Crack'd From Side to Side' terbitan 1962. Jangan bayangkan pembukaan model Dan Brown yang lansung tegang dan berbalut misteri. Novel novel Agatha selalu mulai dengan adegan kehidupan sehari-hari dan potret orang Inggris pada umumnya. Agak sedikit membosankan bagi yang belum terbiasa.

Membaca novel Agatha kadang seperti membaca novel situasi. Dengan jernih dia bisa menggambarkan kondisi sosial saat novel dibikin. Orang orang, gaya rambut, fesyen, dan tradisi yang mulai berubah. Jangan bandingkan dengan tokoh tokoh rekaan Karl May. Saya sendiri kadang ragu apakah dia benar benar pernah ke 'wild wild west' atau pernah ke sini, Indonesia. Atau hanya mengandalkan kemampuan imajinasi semata?

Inggris tahun 60an mungkin sama dengan di sini tahun 2000an. Di desa imajiner seperti St. Mary Mead tempat Miss Marple tinggal, mulai dibangun 'perumahan' dan munculnya sejumlah 'minimarket'. Adalagi kondisi yang sama. Yaitu mulai susahnya mencari pembantu rumah tangga yang berkualitas. Jane sadar semuanya pasti berubah.

Yang jelas, wanita-wanita di manapun kayaknya sama. Mereka suka ngobrol dan bergosip. Apalagi wanita wanita paruh baya yang tidak bekerja. Yang saya ceritakan adalah desanya Jane Marple. Trending Topic mereka kali ini apalagi kalau bukan hadirnya artis selebritis Marina Gregg dan suami ke 5-nya yang membeli rumah aristokrat 'Gossington Hall' di desa mereka. Apakah dia tidak letih dengan kawin cerai sebanyak lima kali itu, tanya Mrs. Bantry. Tak tahu, jawab Miss. Marple. Aku tak pernah menikah.

Mengungkit Pembunuhan (Five Little Pigs, 1942)

Sulit untuk tidak mengatakan kalau novel Five Little Pigs ini mempunyai ide cerita yang sama dengan Elephants Can Remember terbitan 1972. Poirot diminta untuk memecahkan kasus yang telah terjadi belasan tahun yang lalu demi menyelamatkan masa depan seorang putri yang akan segera menikah. Carla Lemarchant, sang putri, percaya Poirot bisa melakukannya.

" Tidakkah anda menyadari bahwa di antara moyang setiap orang pasti ada yang jahat atau berkelakuan buruk? " (kata Poirot, hal.13)


Namun Carla bergeming. Poirot menyerah, dia harus menyusun kembali keping-keping peristiwa masa lalu. Enam belas tahun yang lalu Alderbury adalah tanah pertanian nan indah di tepi pantai Devon, Inggris. Di sana pasangan Mr. dan Mrs. Crale tinggal. Hari itu cerah, Mr. Crale yang pelukis ditemukan mati di taman tepi pantai dimana ia melukis. Otopsi yang dilakukan menunjukkan ia mati karena keracunan coniine Hidrobromida, racun dari pohon cemara. Penggeledahan polisi menemukan botol racun tersebut dalam lemari pakaian Mrs. Crale. Mudah ditebak kalau ia segera digelandang dan disidang di Pengadilan. Ia dinyatakan bersalah, dan setahun kemudian meninggal dalam tahanan.

Namun kisahnya tidak sesederhana itu. Di balik peristiwa tragis tersebut tercium aroma cinta segitiga. Salah seorang model lukisan Mr. Crale, Elsa Greer, yang lebih muda dan cantik, dengan terang-terangan mengungkapkan percintaannya dengan Mr. Clare kepada sang istri. Cekcok pun terjadi. Sampai keluar kata-kata ancaman pembunuhan dari mulut istri yang terbakar api cemburu. Beberapa orang mendengarkan pertengkaran tersebut. Mereka kelak menjadi saksi yang memberatkan Mrs. Clare di pengadilan.

Kalau anda bertanya bagaimana plot cerita ini disusun, jawabannya sebagian besar adalah rangkaian wawancara Poirot terhadap orang orang yang terlibat pada proses hukum kasus Clare. Mereka adalah pengacara, jaksa penuntut, hakim, polisi, dan... mereka yang terlibat langsung pada peristiwa saat itu! Jumlahnya lima orang, seperti sajak kanak Five Little pigs,

Babi kecil yang ini pergi ke pasar,
Babi kecil yang ini tinggal di rumah,
Babi kecil yang ini makan daging panggang,
Babi kecil yang ini tak punya apa apa,
Babi kecil yang ini menangis " hik hik hik, aku tersesat tak bisa pulang! "

Memang tak bisa lain. Poirot harus mendapat gambaran yang utuh atas peristiwa yang telah terjadi. Logis. Yang tak logis, ini - kurang jelas mengapa Agatha gandrung menjadikan sajak sajak tradisional sebagai bagian dari plot cerita. Kesannya jadi agak 'maksa'. Tapi begitulah, Poirot bergerilya mendatangi lima 'babi' yang dulu menjadi bagian dari panggung pembunuhan Mr. Crale si seniman nyentrik.

Ada Meredith Blake dan Philip Blake, mereka berdua kakak beradik sahabat dari kecil Clare. Elsa Greer, model lukis yang bukan sekedar model. Cecilia William, guru dan pengasuh Angela Warren, adik Mrs. Clare. Enam belas tahun kemudian Meredith masih berkutat dengan rumah lamanya, Handcross Manor. Philip menjadi orang yang sangat kaya dari saham. Elsa, hmmm.... keberuntungan nampaknya terus memayunginya. Dia menjadi Lady Dittisham, istri bangsawan Inggris yang terhormat. Cecilia William telah pensiun mengajar dan tinggal di apartemen sederhana. Angela Warren tumbuh menjadi ilmuwan geografi ternama.

Dengan kelihaiannya Poirot berhasil mendapatkan kesaksian versi masing-masing. Bukan cuma itu, iapun berhasil mengumpulkan mereka di Handcross Manor. Dan perjalanan ego seorang Hercule Poirot pun dimulai. Ia berpidato menyihir para pendengarnya. Ia merekonstruksi secara utuh apa yang sesungguhnya terjadi enam belas tahun yang lalu.

Behind The Story

Kalau ngak hobi-hobi banget, membaca buku ini dari awal sampai 90% cerita, ya..... mungkin agak sedikit membosankan. Karena isinya hanya interview Poirot dengan karakter-karakter yang terlibat. Kecuali anda senang dengan dialog-dialog atau drama psikologis, buku ini jagonya. Thriller? tidak. Ketegangan nyaris tidak terasa. Namun dialog-dialognya.... saya bilang T O P. Agatha pandai mendeskripsikan dialog-dialog yang bernas. Sarat dengan emosi dan ekspresi.

Meredith digambarkan sebagai peragu, Philip pengusaha sukses yang arogan, Elsa? masih tetap licik tak bermoral. Miss William adalah guru produk victorian yang kolot dengan standar moralitas yang tinggi. Angela Warren, wanita cerdas yang meraih kedudukan tinggi dalam lingkungan akademik. Salah seorang dari mereka merupakan pembunuh sesungguhnya Mr. Clare, bukan Mrs. Clare seperti yang dituduhkan pengadilan.

Hanya endingnya agak aneh. Sang pembunuh yang akhirnya mengaku dibiarkan bebas pergi. Tidak ada polisi yang berjaga di luar ruangan. Tidak ada hukum karma yang menghukum dengan takdir setimpal. Bahkan ia melenggang dengan keagungan. Agatha telah membiarkan seorang pembunuh berlalu....


Hotel Bertram (At Bertram's Hotel, 1965)


Hotel Bertram. Terletak di London. Bergaya arsitektur Edwardian (masa Raja Edward), dan tetap mempertahankan tradisi gaya hidup orang Inggris tradisional. Acara minum teh dengan hidangan kue muffin. Pelayan hotel yang luar biasa gentleman. Ruang perapian dengan tempat duduk bersandaran tinggi. Pihak manajemen hotel memutuskan untuk 'mengundang' para ningrat Inggris untuk menginap di sana untuk lebih menghidupkan 'suasana' masa lalu kejayaan Inggris. Tentu dengan diskon yang cukup terjangkau, karena ningrat kini bisa jadi ningrat yang telah jatuh miskin, namun tetap taat tradisi. Nyatanya strategi ini cukup berhasil, karena Hotel Bertram tetap menjadi hotel yang elit dengan tarif selangit. Namun bagi Jane Marple, apa yang dia lihat di hotel Bertram terlalu sempurna. Terlalu indah untuk jadi nyata. Dan biasanya ada sesuatu dibalik panggung sesempurna itu.

Bess Sedgwick, adalah wanita dibalik hotel Bertram. Dia adalah selebriti nyentrik dengan gaya hidup penuh kontroversi. Pernah menjadi pembalap mobil, penunggang kuda, dan menerbangkan pesawat. Kawin cerai. Dan kini ia termasuk jajaran orang kaya Inggris. Selain kawin cerai, rupanya banyak juga bagian dari masa lalunya yang disembunyikan. Termasuk kenyataan bahwa ia kini mempunyai anak gadis remaja yang baru menamatkan SMA Katolik di Italia. Meskipun mereka jarang bertemu, ia berharap Elvira, anaknya menjadi anak yang patuh dan manis. Tapi, like mother, like daughter. Sekolah tidak menghalangi Elvira untuk meniru ibunya. Berani, nekad, dengan kecantikan yang setara. Ibu dan anak kini berada dalam hotel yang sama, Hotel Bertram. Dan Miss. Marple terlalu banyak mendengar.

Apa yang dikhawatirkan Miss. Marple menjadi kenyataan. Terjadi pembunuhan di Hotel Bertram. Michael Gorman, seorang doorman, terbunuh. Dia terbunuh saat berusaha melindungi Elvira dari penembakan gelap. Atau, benarkah demikian? Inspektur Kepala Fred Davy, lain lagi. Dia menyambangi hotel atas kasus menghilangnya pendeta Pennyfather. Sementara pada saat yang sama ia pun dipusingkan dengan kasus perampokan kereta. Perampokan yang samar-samar berhubungan dengan Hotel Bertram. Segala sesuatu nampaknya berhubungan dengan hotel ini.

Miss. Marple selesai berlibur. Dia telah meninggalkan Hotel Bertram. Tapi di stasiun Peddington ia dihentikan polisi. Anda diminta datang oleh Inspektur Kepala Fred Davy, kata petugas yang menjemputnya. Rupanya kasus Hotel Bertram semakin berkembang. Miss. Marple diminta membantu mengungkap kemelut ini. Ah, ternyata benar Miss. Marple. Hotel Bertram terlalu banyak menyembunyikan aura jahat.

Puncaknya adalah seorang penjahat yang tersudut. Bak adegan thriller, sang penjahat melarikan diri di depan Davy. Memecahkan kaca jendela dengan telepon, lalu melompat, memanjat dinding hotel, menyusuri atap, melompat dan lari dengan sebuah mobil balap. Tapi lagi lagi duet Davy-Marple harus kecewa. Adegan action itu tidak mengungkap pembunuh sebenarnya. Pembunuh sebenarnya masih tetap hidup. Berlindung dibalik wajahnya yang polos.....

Behind The Story

Bila anda menanyakan alamat Hotel Bertram  pada polisi London, mungkin akan disambut dengan kerutan di dahi. Hotel itu tak pernah ada. Nama hotel itu justru ada di Copenhagen, Denmark. Mengapa demikian, ho ho ho ini kan bisa bisanya Agatha.

Hotel Bertrams, Copenhagen, Denmark.


Agatha memulai novel dengan cara yang nikmat. Dia menggambarkan suasana hotel dengan sempurna. Interiornya, para pelayan hotel, hidangan yang disajikan, dan tamu tamu hotel. Novel ini memang asyik dibaca saat suasana santai, atau liburan, atau kala sedang menginap di hotel. Miss. Marple sendiri dibayarin keponakannya menginap di sana. Mengatasi kejenuhan tinggal St, Mary Mead, desa kecil nan sepi dimana Jane biasa tinggal. Mengenai komentar Jane bahwa Hotel Bertram telah menjadi panggung yang terlalu sempurna, Hercule Poirot pernah berkomentar serupa dalam Orient Express bahwa gerbong yang dia tumpangi menjadi panggung yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Dan kedua panggung itu benar-benar menjadi panggung yang sempurna untuk pembunuhan.

Namun anda akan berjumpa dengan Jane Marple pada bab-bab awal saja. Selebihnya seting cerita berfokus pada sepak terjang Inspektur Kepala Fred Davy dalam melacak raibnya pendeta dari Hotel Bertram, dan kemudian perampokan kereta. Boleh dikatakan dalam novel ini Miss. Marple hanya kebagian peran figuran saja.

Secara garis besar, plot cerita terdiri dari kehidupan Hotel Bertram, Kepolisian Inggris yang dipusingkan dengan maraknya perampokan dalam jumlah besar, dan kehidupan Lady Sedgwick yang kontroversial. Dalam novel ini anda akan kembali berjumpa dengan tokoh 'Mr. Robinson' yang misterius. Yang tahu banyak hal-hal khusus yang tak diketahui khalayak. Kepada beliaulah Davy pertama-tama datang untuk menemukan tokoh tokoh kunci di balik Hotel Bertram.

Bess Sedgwick pantas menjadi tokoh utama novel ini. Dari wanita ini kisah mengalir. Jauh dari masa lalunya yang menikah pada usia dini. Kalaupun ada 'lubang besar' dalam cerita ini, saya menunjuk pada cara Micky Goorman tertembak. Duduk perkara penembakan ini ditemukan oleh penalaran dan intuisi Inspektur Davy dan Miss. Marple. Saya tidak tahu apakah di tahun 1965 ketika novel ini dirilis dunia sudah mengenal uji balistik. Padahal dengan uji balistik, dapat ditemukan jarak dan arah tembak. Dengan demikian gugurlah cerita cerita penembak gelap dari pekarangan hotel.

Yang juga agak jorok adalah soal ditemukannya pistol yang dipergunakan untuk menembak. Kenapa harus ditemukan di sekitar lokasi penembakan. Kenapa tidak dibuang jauh-jauh. Kenapa tidak ada penyelidikan terhadap sidik jari, atau kalau tidak ada sidik jari, mungkin sarung tangan untuk menghilangkan sidik jari. Agatha alpa dalam hal ini. Ketakutan Elvira akan jatuhnya hak waris ke tangan yang salah juga lebay. Wali atau pengacaranya dengan mudah menjelaskan perkara hak waris ini. Tidak perlu ada pembunuhan untuk hal ini.

Terlepas lembeknya penyelesaian akhir, saya tetap suka novel ini. Terutama bila mengenai deskripsi hotel dan acara menyusuri kota London. Mungkin karena ruwet dan kurang beradabnya kota-kota besar kita. Nampaknya standar etika di kota kota besar Eropa jauh lebih baik. Kita merindukan itu. Terakhir, saya menulis resensi ini dalam keadaan 'repot'. Karena waktunya kebagian jaga bayi, ditambah terkena flu berat sehingga harus mengenakan masker. Kaca mata jadi terembuni hembusan nafas. Dede bayi ngak mau diem. Mengetik jadi tersendat sendat. Beneran repot.


Pembunuhan atas Roger Ackroyd (The Murder Of Roger Ackroyd, 1926)

Cerita ini berlatar belakang Inggris era 1920-an, di sebuah desa bernama King's Abbot, tak jauh dari Cranchaster. Rencananya Hercule Poirot akan menikmati masa pensiunya di desa ini, dan berjanji tidak akan lagi menerima kasus-kasus pembunuhan. Eh, tak dinyana pembunuhan terjadi tak jauh dari rumahnya. Mana mungkin Poirot tidak peduli? Dia harus melanggar janjinya sendiri...

Malam itu, sekitar 9.45 -10.00 terjadi pembunuhan atas Roger Ackroyd, seorang tuan tanah dan industriawan sukses di rumahnya sendiri, Fernly Park. Pada saat kejadian, dirumah tersebut terdapat Mayor Blunt, Tuan Raymond, Nona Ackroyd, Nyoya Akcroyd, Parker, Nona Russel, Ursula Bourne, Nyonya Cooper, Gladys Jones, Elsie Dale, dan Mary Thripp. Kematian terjadi karena tusukan belati, dan dokter Sheppard yang kemudian datang dan memeriksanya memerintahkan para pembantu untuk menelepon dan melaporkan kasus ini kepada polisi. Polisi kemudian meminta bantuan Mr. Poirot, eh bien?


Fakta lokasi menyebutkan bahwa Tuan Ackroyd masih hidup sekitar pikul 9.30 karena Parker mendengar tuannya masih berbicara dari ruang kerjanya yang masih terkunci. Pembunuh nampaknya melakukan aksinya dengan membuka jendela ruang kerja, membunuh, kemudian melarikan diri dengan meninggalkan jejak sepatu. Sepertinya gampang menemukan pelakunya, tetapi jalan cerita malah menjadi rumit. Orang yang melompat jendela tidak pernah ditemukan. Penyelidikan berkembang dengan kecurigaan kepada para penghuni rumah. Lagian, setiap orang yang berada di rumah itu mempunyai kesempatan dan motivasi untuk melakukannya.

Mr. Poirot yang tak jadi pensiun.

Dalam kisah ini, yang menjadi pencerita (narator) adalah dr. Sheppard. Beberapa clue ditebar. Ingat ingat apabila anda menemukan orang yang hobi mengotak atik tape recorder (selebihnya, hmm jangan ah, itu spoil...). Termasuk, siapa yang masuk duluan ke TKP! Maka tak heran beberapa versi gambar cover novel ini adalah: tape.


Banyak kalangan yang menyebut The Murder of Roger Ackroyd merupakan salah satu novel terbesar Agatha. Setuju banget. Novel ini terlalu jenius untuk dilewatkan. Metode pembunuhannya nyaris sempurna. Tidak ada lubang besar yang akan membuat kita ragu. Agatha coba lagi membuat pembunuhan serupa pada Pembunuhan di Malam Natal, 12 tahun kemudian. Dengan memutar pelakunya. Menurut saya lagi lagi sukses menjebak pembacanya. Tetapi novel belakangan tidak lagi main main dengan narator. Pasti ketahuan, dong.

Behind The Story


Pernah kepikiran kenapa novel novel karya Agatha Christie bikin ketagihan para pembacanya ?

Dalam Hypnotic Writing karya Joe Vitale (Bapak Pemasaran Hypnotis), disebutkan bahwa novel Agatha Christie telah diteliti oleh para ahli (The Agatha Project) untuk mencari tahu penyebab mengapa orang orang mencari novel-novel karangannya terus menerus, nyaris seperti ketagihan. Menurut hasil penelitan itu, Agatha Chistie menggunakan teknik sastra yang mirip hipnoterapis, yang memiliki efek hipnosis bagi para pembacanya. Penelitian itu mendapati bahwa frasa umum yang digunakan Agatha bertindak sebagai pemicu untuk meningkatkan kadar serotonin dan endorfin, dua kurir kimia dalam otak yang menimbulkan rasa senang.

Ah, bagi saya Agatha memukau karena dia menciptakan karakter yang tak pernah ada sebelumnya. Dia tidak membebek Sherlock yang duluan ngetop. Dia melakukannya dengan lebih baik!

Saksi Bisu (Dumb Witness, 1937)


" Bella tak ada kekurangannya. Dia wanita yang baik sekali... meskipun begitu Bella belum dianggap sempurna. Bella kawin dengan orang asing -dan, bukan sekedar orang asing. Orang Yunani. Bagi Emily Arundell orang Yunani tidak lebih dari pada orang Yahudi (hal. 17).

Bukan sekali ini saja Agatha bersikap rasis. Dalam Crooked House, 1949, alis Catatan Josephine, bahkan lebih menonjol lagi. Entah kenapa dia kurang suka kepada dua bangsa ini. Yang jelas, Bella memang menikah dengan seorang dokter Yunani. Walau dokter... ya tetap saja Yunani. Mungkin itu yang ada dalam benak Emily Arundel sebelum kematiannya. Emily itu jenis aristoktrat Inggris, mungkin generasi terakhir.

Cerita dibuka dengan kematian perawan tua bernama Emily Arundel yang mula-mula dianggap wajar. Tetapi detektif kita, Hercule Poirot, tidak begitu saja percaya. Walaupun dokter menyimpulkan kematian disebabkan penyakit kuning yang telah lama diderita. Sepucuk surat yang datang terlambat memicu penyelidikan terhadap orang orang yang patut dicurigai. Kecurigaan makin bertambah karena ternyata warisan Nona Arundel - yang kaya itu - tidak diberikan kepada saudara saudara terdekatnya. Tetapi jatuh ke pelayan yang bernama Wilhelmina Lawson. Ada apa ini?

Mengungkapkan pembunuhan yang telah lama terjadi agak tidak mudah. Menggali ingatan para saksi hidup yang sudah mulai pudar semakin sulit. Hercule Poirot didampingi kapten Hastings kemudian fokus mencari profil yang cocok dengan teknik membunuh si pelaku. Dia digambarkan sebagai orang yang berpikir sederhana, faham kimia, obat, dan penyakit. Si pembunuh faham pula bahwa di usia senjanya, Emily orang yang mulai sakitan. Tapi anehnya walaupun terdapat tiga orang dokter dalam kisah tersebut, tak satupun yang menjadi pembunuhnya.

Jadi bukan masalah profesi, lebih ke profil psikologis. Memang novel ini sarat dengan analisa psikologis. Membuat pengetahuan tentang obat obatan dan racun menjadi kurang berarti. Hmm, masalah racun ini, kenapa ya selalu wanita yang menjadi peraciknya....
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Peringkat Novel Agatha Christie

Saya benci pemeringkatan. Apalagi bila menyangkut penulis favorit Agatha Christie. Tetapi pemeringkatan menjadi keniscayaan - bukankah setiap pencipta agung mempunyai masterpiece? Dan mengenali sebuah masterpisece adalah tugas seorang reviewer. Maka saya menyematkan **** alias empat bintang untuk karya masterpiece, *** tiga bintang untuk karya 'out of the box', ** dua bintang untuk karya kategori bagus, dan satu bintang * untuk karya standar Agatha. Tentu saja ini subyektif, pendapat anda lebih benar. Klik di sini untuk melanjutkan.