Burung hitam yang menclok di meja kerja Rex Fortescue menyiratkan nasib sial. Itu kepercayaan para orang tua dahulu. Sas sus mulai merebak. Tapi Rex, pengusaha tambang yang sukses, menolak takhayul seperti itu. Walaupun tambangnya di Blackbird Afrika Timur sedang mengalami penurunan, namun kabar ditemukannya lapisan uranium di lokasi tersebut kembali melambungkan saham perusahaan tambangnya. Nasib sial tidak akan menghampiri perusahaannya. Nasib sial justru menghampiri dirinya. Nyawanya terengut karena keracunan makanan. Dan di sakunya ditemukan segenggam gandum hitam. Lagi-lagi takhayul. Namun kemudian terbunuhnya seorang pelayan mestinya bukan sekedar takhayul dan nasib sial. Ini pastilah suatu pembunuhan yang direncanakan....
Entah sekedar kebetulan belaka, beberapa waktu berselang keluarga besar Fortescue banyak menerima orang baru. Kembalinya Lance si anak hilang, Jenifer perawat yang malah jadi mantu, dan Gladys Martin palayan baru. Gladys Martin lah yang secara meyakinkan kepergok membubuhkan taxine ke dalam selai yang disantap Mr. Rex. Namun apa motivasinya, dan kemudian mengapa dia malah terbunuh secara tragis?
Rex Fortescue, besar karena kerja keras... kelicikan dan penipuan... Rekan rekan kerja yang kecewa berencana melakukan balas dendam. Dan penyusupan ke jantung keluarga tinggal menunggu waktu pembalasan. Namun benarkah hanya untuk balas dendam belaka?
Miss. Marple perlu meluruskan banyak hal. Terutama terkait Gladys Martin, pelayan lugu, gadis polos yang dimabuk cinta, tak sadar sedang dimanfaatkan seorang pembunuh yang tak kenal belas kasihan.
Behind The Story
And Then There Were None yang menjadi hit Agatha sepanjang masa. Bisa dikatakan, di bawah bombardir pesawat Jerman, Agatha malah lebih produktif dan melahirkan karya masterpiece-nya. Atau yang terjadi mungkin seperti ini: Agatha lebih merasa aman berlindung dalam bungker 'imajinasi'nya ketika serangan serangan udara itu mungkin saja membuatnya histeris. Makin berlama-lama dia tenggelam dalam bungker imajinasinya itu, makin produktif dan makin tajam saja karya karya yang dihasilkannya.
Jika disimak dengan seksama, sejak tahun 1920 Agatha Christie tak henti berkarya sampai kematian menghentikannya tahun 1976. Perang dunia kedua bahkan tak bisa membendung kreatifitasnya. Tahun 1939 saat Eropa diambang perang, Agatha makin 'menggila' dengan menerbitkan 4 novel sekaligus, salah satunya adalah novel di atas, A Pocket Full of Rye dirilis tahun 1953, ketika Eropa mulai memasuki masa damai. 23 tahun sejak novel pertamanya diterbitkan. Agatha nampaknya mulai cooling down. Dia mulai dengan kebiasaan hanya menerbitkan 1 novel setiap tahunnya. Walaupun Hercule Poirot dan Jane Marple masih menjadi jualan utamanya, kesan lebih 'nyantai' mulai terasa dalam kisah kisahnya. Mungkin ini yang menyebabkan masa itu tidak lagi keluar karya-karya monumental seperti Roger Ackroyd, Orient Express, dan And Then There Were None.
Sebagai catatan akhir, judul novel ini lagi lagi diambil dari lagu tradisioanal anak-anak 'Sing a Song of Sixpence'. Mungkin sejenis 'Twinkle Twinkle Little Star' yang lebih kita kenal. Novel Agatha lainnya yang juga terinspirasi oleh lagu sejenis adalah Hickory Dickory Dock dan One, Two, Buckle my Shoe.
Sing a song of sixpence a pocket full of rye,
Four and twenty blackbirds baked in a pie,
When the pie was opened the birds began to sing,
Oh wasn’t that a dainty dish to set before the king?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar