Pembunuhan Di Wisma Pendeta (Murder at The Vicarage, 1930)


Di Inggris tak ada seorang detektif pun yang bisa menandingi seorang perawan tua yang nganggur dan iseng (hal.49).

Kalau anda kebetulan berprofesi sebagai rohaniawan semodel kiai, ustad, rabi atau pendeta, jangan sembarangan omong. Itu pendeta Len Clement berseloroh kalau siapapun yang membunuh jemaat bernama Kolonel Protheroe, berarti telah berbuat kebajikan kepada seisi dunia. Tentu saja kutipan itu bukan dari injil. 

Esok harinya sang Kolonel betul betul terbunuh - dengan cara ditembak, di ruang kerja Wisma Pendeta pula!

St. Mary Mead dikenal sebagai desa relijius. Mungkin saking relijiusnya, orang menaruh perhatian "berlebih' kepada gereja dan pendetanya. Ketika seorang jemaat mendapati sedekahnya tidak sesuai catatan buku gereja, segera saja dengan cepat menjadi isu yang bergulir tak sedap. Di tangan provokator seperti Kolonel Protheroe, masalahnya menjadi semakin panas. Ada penggelapan sedekah gereja! Pendeta Clement sampai harus mengundang jemaah yang rata-rata sudah uzur itu untuk mengklarifikasi masalah. Pertemuan yang tadinya dimaksudkan sebagai media klarifikasi, malah berkembang menjadi ajang bergunjing apalagi kalau bukan gosip-gosip 'terkini' di desa mereka. Ada Mr. Stone, arkeolog yang sekretarisnya selalu pake rok mini, dr. Haydock yang ngapelin janda mencrang, hingga Kolonel Protheroe yang mengusir artis pelukis Lawrence Redding. Itu gara-gara melukis putrinya yang hanya berbalut handuk mandi. Ah, ngawur ke mana-mana. Tapi hanya Miss Marple seorang yang mengendus dan mengkhawatirkan cinta segi tiga maut.



Kekhawatiran yang beralasan. Sebab tak lama kemudian pendeta memergoki sang pelukis sedang bercinta dengan Mrs. Protheroe. Dan di sore yang maut itu, sang Kolonel mati tewas ditembak di ruang kerja Pendeta. Malamnya si pelukis menyerahkan diri ke polisi dan mengaku sebagai penembak mati sang Kolonel. Esok harinya giliran janda Kolonel, Mrs. Protheroe yang mengakui sebagai penembak. Polisi merasa dipermainkan. Tapi baik si pelukis, maupun sang janda dibebaskan karena kurang bukti. Lho, siapa yang nembak? Kontan saja spekulasi merebak. Intrik-intrik dan saling curiga mulai mewarnai kehidupan desa yang damai itu. Telepon-telepon gelap, saling mengintip, menelisik masa lalu seseorang. Hingga memuncak pada upaya bunuh diri asisten pendeta. Dia mengaku yang menggelapkan dana umat, kemudian menembak si Kolonel demi mencegah kasus ini terbuka...

Rumah Miss Marple tepat berada di samping Wisma Pendeta. Jadi dia tahu betul suasana sekitar wisma sore saat kejadian itu. Di balik tubuh rentanya, dia berhasil mereka ulang apa yang sebenarnya terjadi di desa kecil itu. Hhh, dan bikin polisi terbelalak. Tapi untuk menangkap pelaku sebenarnya, dibutuhkan jebakan. Jebakan untuk si pembunuh. Tapi yang mana? Rupanya banyak orang yang potensial menjadi pembunuh, dia menghitung ada tujuh orang, termasuk pendeta...

Behind The Story

Komentar saya? Pantas untuk dinominasi menjadi novel terbaik Jane Marple. Agatha berhasil memasukan konflik dan intrik intrik di novel ini. Intrik pertama muncul dari istri pendeta. Kebanyakan pendeta mungkin selibat (tidak menikah). Tapi Mr. Clement memutuskan untuk menikahi Griselda, usianya jauh dan juga jauh dari nilai-nilai kristen. Tapi sang pendeta begitu memujanya. Cantik sih, tapi tak bisa masak. Terbukti di masa lalu pernah punya affair dengan si pelukis. Istri pendeta harusnya soleh, tidak  fungky - seperti yang digunjingkan warga . Boleh juga Agatha.

Intrik dan konflik lainnya adalah kaum puritan VS anak anak muda. Yaa, pakaian ketat dan rok mini. Lalu pasangan suami-istri yang terpaut usia hingga 20 tahun. Perselingkuhan, dan juga perselingkuhan sedekah gereja. Tapi sebenarnya saya suka latar lingkungan yang dibangun oleh cerita ini. Masih ada rumah-rumah dengan taman, gereja, jalan jalan batu, dan hutan. Suasana sore diceritakan dengan agak menonjol. Tentunya efek senja dengan sinar mentari yang jatuh dalam interior gereja.

Jane Marple benar-benar hidup di novel ini. Bukan saja dia berhasil menancapkan kekuatan watak dan penalarannya, tapi berhasil membuat para inspektur polisi memerah wajahnya. Motif? mungkin tak terlalu kuat. Tetapi kelindan orang-orang yang terlibat sungguh membuat pembacanya pusing sendiri. Dan tentu agak susah menebak siapa pembunuh sebenarnya. Saya ragu kalau kasus ini benar-benar bisa terjadi di alam nyata. Terlalu muskil, atau anak sekarang menyebutnya: lebay.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Peringkat Novel Agatha Christie

Saya benci pemeringkatan. Apalagi bila menyangkut penulis favorit Agatha Christie. Tetapi pemeringkatan menjadi keniscayaan - bukankah setiap pencipta agung mempunyai masterpiece? Dan mengenali sebuah masterpisece adalah tugas seorang reviewer. Maka saya menyematkan **** alias empat bintang untuk karya masterpiece, *** tiga bintang untuk karya 'out of the box', ** dua bintang untuk karya kategori bagus, dan satu bintang * untuk karya standar Agatha. Tentu saja ini subyektif, pendapat anda lebih benar. Klik di sini untuk melanjutkan.