Kota London pernah diguncang pembunuhan berantai Jack the Ripper. Kasusnya tak terpecahkan. Kini pembunuhan serupa terjadi lagi di kota London dengan cara lebih menantang dan sistematis. Sebelum melakukan aksinya, si penjagal lebih dulu menyurati Hercule Poirot. Seolah ingin menunjukkan kepiawaiannya, dia mengatakan korban akan dimulai dari orang dengan nama berawal abjad A, kemudian berawal abjad B, C, D dan seterusnya....
Boleh dong sebagai penggemar Agatha saya menganalisis dan menebak profil si pembunuh. Dengan tipe seperti ini biasanya pembunuh beraksi lantaran hoby semata. dalam kehidupan nyata ia membaur seperti halnya saya dan anda. Secara finansial ia mapan atau bisa jadi sangat mapan. Ia bosan dengan rutinitas yang ada, dan perlu sesuatu yang lebih menantang. Secara phisik ia kuat, dan sesungguhnya secara mental sangat terkendali. Benarkah demikian? (berarti kamu sekarang lebih pintar dari Poirot, maksudnya begitu?)
Ruman si 'Cust' di Doncaster |
Benar. Analisis anda benar bahwa saya salah menebak. Bahkan kesalahan serupa terjadi ketika Kepolisian London berhasil menangkap si 'pelaku', Alexander Bonaparte Cust, tentu dengan banyak bukti yang meyakinkan. Alexander Bonaparte Cust mengidap epilepsi. Dia adalah tipe orang yang hidupnya tidak keruan dan cenderung gagal. Para saksi mata mengiyakan melihat tersangka di tempat kejadian perkara. Lengkaplah sudah hal-hal yang memberatkan tersangka. Namun lagi lagi Detektif Poirot berpendapat lain.
Sejak dari awal, profil Cust tidak cocok dengan karakter pembunuh. Pembunuhan ketiga di Chusrton dengan korban Sir Carmichael Clarke menjadi awal dari terkuaknya misteri pembunuhan berantai ini. Dan percayakah anda, pembunuhan berantai yang terkesan acak ini dimotivasi oleh rebutan warisan....
Royal Victoria Hotel |
Behind The Story
Saya menduga Agatha terinspirasi oleh tokoh Jack The Ripper. Jack The Ripper adalah nama yang diberikan kepada seorang pembunuh berantai yang beraksi pada tahun 1888 di kota London Inggris. Tepatnya adalah di distrik East End atau lebih dikenal dengan kawasan Whitechappel. Nama sebenarnya tak pernah diketahui karena dia tak pernah tertangkap.
Jumlah korban sebanyak 5 orang (Mary Ann , Annie Chapman , Elizabeth , Catherine , Jane kelly), semuanya dibunuh dengan cara mutilasi. Persamaan di antara para korban adalah mereka semuanya pelacur. Rata rata korban dimultilasi dengan cara yang apik dan ahli. Tidak ada satu pun bukti yang mengarah pada orang tertentu. Satu satunya petunjuk adalah sebuah tulisan kapur di dinding: "The Juwes are the men that will not be blamed for nothing."
Jumlah korban sebanyak 5 orang (Mary Ann , Annie Chapman , Elizabeth , Catherine , Jane kelly), semuanya dibunuh dengan cara mutilasi. Persamaan di antara para korban adalah mereka semuanya pelacur. Rata rata korban dimultilasi dengan cara yang apik dan ahli. Tidak ada satu pun bukti yang mengarah pada orang tertentu. Satu satunya petunjuk adalah sebuah tulisan kapur di dinding: "The Juwes are the men that will not be blamed for nothing."
Timbul kemudian spekulasi yang mengatakan kemungkinan besar pelakunya adalah dokter bedah. Karena di tengah penerangan yang buruk, mutilasi yang dihasilkannya terpola secara anatomis. Siapa lagi kalau bukan dokter (bedah) yang sanggup melakukannya. Namun tak seorang dokter pun yang dijadikan tersangka saat itu.
Namun terus terang, searching yang saya lakukan tidak mengkonfirmasi Agatha terinspirasi oleh kisah di atas. Kebanyakan malah menyoroti gaya dua narator - sang pencerita novel - yang dipergunakan Agatha dalam buku ini. Bagian pertama oleh Kapten Hastings, selebihnya oleh Alexander Bonaparte Cust, orang yang justru paling dicurigai itu. Konon, gaya ini pertama kali digunakan oleh Charles Dickens. Penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, juga menggunakan gaya ini dalam tetralogi pulau burunya. Mungkin banyak juga pembaca yang kecele menebak narator adalah pembunuhnya, seperti dalam pembunuhan Roger Ackroyd. Agatha tak sebodoh itu.
Yang tak kalah seru adalah posting di beberapa media sosial yang menobatkan novel ini sebagai salah satu yang terbaik dari karya Agatha. Saya hanya menemukan klaim ini di cyber Indonesia saja. Nampaknya seseorang memblow-up nya, dan yang lain mengamini. Hmm, bagi saya novel kali ini kebilang bagus, tapi tidak istimewa.
Namun terus terang, searching yang saya lakukan tidak mengkonfirmasi Agatha terinspirasi oleh kisah di atas. Kebanyakan malah menyoroti gaya dua narator - sang pencerita novel - yang dipergunakan Agatha dalam buku ini. Bagian pertama oleh Kapten Hastings, selebihnya oleh Alexander Bonaparte Cust, orang yang justru paling dicurigai itu. Konon, gaya ini pertama kali digunakan oleh Charles Dickens. Penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, juga menggunakan gaya ini dalam tetralogi pulau burunya. Mungkin banyak juga pembaca yang kecele menebak narator adalah pembunuhnya, seperti dalam pembunuhan Roger Ackroyd. Agatha tak sebodoh itu.
Bexhill-on-sea, East Sussex |
Yang tak kalah seru adalah posting di beberapa media sosial yang menobatkan novel ini sebagai salah satu yang terbaik dari karya Agatha. Saya hanya menemukan klaim ini di cyber Indonesia saja. Nampaknya seseorang memblow-up nya, dan yang lain mengamini. Hmm, bagi saya novel kali ini kebilang bagus, tapi tidak istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar