Pembunuhan Di Malam Natal (Hercule Poirot's Christmas, 1938)


Entah siapa yang pertama kali memproklamirkan The Murder Of Roger Ackyord karya Agatha Christie tahun 1926 sebagai karya terbesarnya. Bagi saya novel Hercule Poirot's Christmas yang dirilis tahun 1938 ini sama bagusnya. Dua novel ini memang menghadirkan pembunuh yang tak terduga. Namun saya melihat dari segi  fairness, Agatha tidak fair menjebak pembacanya dalam Roger Ackyord. Sementara dalam Christmas Agatha sungguh-sungguh Jenius! tak sedetikpun sepanjang membaca, anda akan menduga siapa pembunuhnya. Padahal petunjuk samar-samar telah ditebar.

Baiklah, semuanya bisa diperdebatkan. Yang jelas, Simon Lee adalah aristokrat kaya dengan harta warisan yang tidak sedikit. Selain kaya, Simon adalah playboy dan juga... bajingan (wah!). Tak heran duda ini mempunyai hubungan kurang harmonis dengan anak anak dan menantu. Tapi ini Hari Natal, anak-anak berkumpul di rumah Simon. Sebagian pingin merayakan natal, tapi jujur saja sebagian besar berharap warisan tua bangka ini. Namun seseorang membunuhnya....

Kecuali anda sejenius Agatha, di novel ini kita harus mengakui level berfikir Agatha tidak biasa, melebihi cara berpikir kebanyakan. Mungkin kita sekarang akan menyebutnya out of the box. Namun di tahun 30an Agatha sudah memeragakan apa itu out of the box, sesuatu yang tiba-tiba muncul diluar kotak berpikir kita. Sebenarnya gaya out of the box ini tidak seluruhnya mewarnai novel-novel agatha. Pada dekade 20an dan 30an lah Agatha lagi bugar bugarnya menghadirkan pembunuhan-pembunuhan dengan kejutan. Era 40an sampai 70an cenderung lebih nyantai, saya cenderung menyebutnya lembek.


Behind The Story




Seperti yang sering dikatakannya sendiri, Agatha Christie memelopori cara baru bagaimana seharusnya seorang detektif bekerja. Cara yang dimaksud adalah seorang detektif hanya perlu merenung, menggunakan 'sel sel kelabu' otaknya untuk memecahkan sebuah kasus. Tentu saja mengumpulkan bukti-bukti tetap penting. Tetapi ritual ini dapat dilakukan oleh para 'asisten' semisal kapten Hastings dan Adriane Oliver.

Anda berhak mengatakan 'kuno' pada cerita detektif Agatha. Kita hidup di era 'CSI' dimana petugas koroner berseliweran mengendus bukti bukti sekecil DNA untuk kemudian mengujinya di laboratorium. Tapi siapapun akan mengakui bahwa Agatha adalah 'ratu' dalam hal menjalin cerita dan menjebak pembaca sehingga tak seorangpun tahu kemanakah ending cerita akan dibawa. Teknologi jadi kurang bermakna bila dihadapkan pada orijinalitas ide.

Kata 'kuno' kedua mungkin disoal pada cara bertutur. Mereka penggila jagat hiburan barangkali banyak dimanjakan skenario ala Hollywood. Cepat, efisien, full action, suspens, dan heroik dengan bumbu seks yang aduhai. Gaya bertutur Agatha cenderung mengalir lambat, santun, dan tentu saja ruwet. Para pembacanya akan mulai mengalami ketegangan hanya pada 10% akhir novel. Tapi ingat, 10% bagian akhir inilah yang menyebabkan jutaan orang menjadi fans setia sang ratu.

Lalu apa yang membedakan novel Agatha dengan penulis lainnya. Yang utama tentu saja selalu terjadi pembunuhan. Sekurang kurangnya terdapat satu kali pembunuhan. Lebih sering terjadi lebih dari dua kali pembunuhan. Bagaimana tokoh-tokoh fiksi Agatha menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan? Sebenarnya hanya ada empat kata kunci untuk menguak sebuah kasus: motif, analisa psikologis, metoda pembunuhan, dan pemecahan masalah.

Hal pertama yang dilakukan oleh M. Poirot maupun Jane Marple adalah penelusuran motif si pembunuh. Motif pembunuhan biasanya hanya berkutat pada rebutan harta dan warisan, asmara dan dendam, dan sangat jarang motif kekuasaan. Bisa terjadi kombinasi dua atau tiga motif sekaligus. Seringkali dengan mengurai motif pembunuhan, sebuah kasus akan cepat menemukan titik terang. Motif asmara sangat dominan pada 'The Hollow', sedangkan pada 'ABC murder' motif warisan sangat kuat. Motif kekuasaan terlihat pada novel politik 'Passanger to Frankfurt '.

Analisa psikologis turut menghiasi jalannya cerita Agatha. Agatha sendiri bukan psikolog atau psikiater. Namun psikologi tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu kasus akan menjadi kunci untuk mengenali si pembunuh. Analisa psikologis dengan cepat dapat mengenali pembunuh yang menyamar jadi polisi dalam 'Labours of Hercules'. Tak pelak lagi novel terakhir 'Curtain' menjadi ajang pertempuran psikologis paling keras antara M. Poirot dengan lawan terakhirnya.

Metoda pembunuhan yang nyaris menjadi trademark Agatha adalah peracunan. Novel perdana Agatha 'Mysteri at Styles' meneguhkan hal ini. Selama perang dunia pertama Agatha pernah jadi sukarelawan perawat. Barangkali pengetahuan tentang berbagai jenis racun dan obat diperoleh selama masa itu.  Jenis-jenis racun yang sering digunakan adalah sianida, arsenik, strythnine, morphine, dan belladona. Metoda pembunuhan lainnya adalah dengan cara pencekikan, penikaman, penembakan dengan pistol, dan ditenggelamkan.

Pemecahan masalah selalu ditangani oleh tokoh utama semisal Hercule Poirot. Pemecahan masalah biasanya selalu dimulai dengan wawancara tokoh tokoh yang terlibat dan mengumpulkan bukti. Apabila sudah dirasa cukup, keping demi keping peristiwa kemudian disusun dalam susunan kejadian paling logis dan tidak dapat dibantah kebenarannya. Tidak pernah ada penjahat yang mampu mematahkan penjelasan sang Detektif. Bagian ini biasanya diletakkan di akhir cerita dan menjadi yang paling dinanti para Agathamania.

Hal lainnya yang menarik untuk dicermati adalah profesi si pembunuh. Agaknya profesi dokter, perawat, apoteker, pekerja laboratorium, dan profesi yang berkaitan dengan medis menjadi tokoh favorit sebagai pembunuh. Dokter pembunuh tersebar dalam novel 'Card on the table', ' Sleeping Murder', 'The Murder of Roger Ackyord',dan 'Postern of faith'. Dalam 'Dumb Witness' istri dokter yang menjadi pembunuh. Dalam 'The Hollow' dokter malah menjadi korban pembunuhan. Profesi pembunuh lainnya adalah polisi, artis, pengusaha, sekretaris, istri/suami yang cemburu, hingga preman/pengangguran/orang orang bangkrut. Yang menarik adalah ada juga orang yang terlahir jadi pembunuh seperti dalam novel 'Endless Night' dan 'Why didn't they ask Evan'.

Semuanya serba mungkin dalam dunia Agatha Christie.

7 komentar:

  1. Yang saya takutkan dari review2 semacam ini adalah SPOILER, dan ternyata ketakutan saya terbukti. Akhir review ini mengandung spoiler kuat.
    Untungnya saya langsung scroll ke bawah tanpa membacanya. Sebaiknya dua paragraf paling akhir dihapus saja, atau judul2 bukunya tidak usah dituliskan. kasihan yg belum pernah baca kisah2nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin blog ini memang ditujukan bagi yang sudah lengkap membaca semua novel dan kumpulan cerpen Christie.Coba klik review Murder in Orient Express dan scroll sampai 'Behind the Story'nya

      Hapus
  2. Rugi saya mencatat analisis gerak-gerik ‘19 tersangka’, karna sebenarnya ada ‘20 tersangka’ yang seorang diantaranya justru luput dari pengamatan saya =_= sekali lagi : terjebak!

    BalasHapus
  3. Itulah. Kenapa saya mengkategorikan judul ini pada posisi luar biasa.

    BalasHapus
  4. Itulah. Kenapa saya mengkategorikan judul ini pada posisi luar biasa.

    BalasHapus
  5. Itulah. Kenapa saya mengkategorikan judul ini pada posisi luar biasa.

    BalasHapus
  6. Anak Haramnya Simeon Lee yang bunuh.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Peringkat Novel Agatha Christie

Saya benci pemeringkatan. Apalagi bila menyangkut penulis favorit Agatha Christie. Tetapi pemeringkatan menjadi keniscayaan - bukankah setiap pencipta agung mempunyai masterpiece? Dan mengenali sebuah masterpisece adalah tugas seorang reviewer. Maka saya menyematkan **** alias empat bintang untuk karya masterpiece, *** tiga bintang untuk karya 'out of the box', ** dua bintang untuk karya kategori bagus, dan satu bintang * untuk karya standar Agatha. Tentu saja ini subyektif, pendapat anda lebih benar. Klik di sini untuk melanjutkan.